Tiba-tiba saya teringat sebuah diskusi tahun 2008. Ceritanya saya tengah patah hati, ditinggal kekasih hati :). Saya tengah berkeluh kesah kepada seorang sahabat. Dia membiarkan saya mengoceh entah berapa lamanya, tak berkomentar. Lalu tiba-tiba dia memberikan sebuah pertanyaan kepada saya :
“Bro. Jika kamu berada dalam suatu situasi, dimana kamu diminta untuk memilih, siapa dari 4 pihak ini yang kamu relakan untuk meninggalkanmu : Orang Tuamu, Anakmu, istrimu dan mertuamu;, siapa yang akan kamu relakan pergi terlebih dahulu?”
Nah lo. Orang lagi curhat kok malah dikasih pertanyaan seperti ini? Tak lama aku berfikir, lalu aku bilang : “Mending aku yang mati duluan..” dan sahabatku langsung bilang : “Maka kamu adalah orang paling pengecut dan tidak bertanggungjawab yang pernah aku tahu”.
Dia tidak menungguku untuk mencari jawabannya, dan langsung meneruskan ucapannya :
“Jika kamu mati, lalu siapa yang akan mengurusi orang tua, anak, istri dan mertuamu?”
Aku terhenyak. Mencoba untuk mencari pembelaan diri. Tapi sepertinya sia-sia. Ditengah keputusasaan tidak menemukan cara “ngeles”, aku berujar : “Tapi apa hubungannya dengan masalahku? Kau hanya membuatku tambah pusing”
Dan sahabatku berkata:
“Jika kau mampu menjawab pertanyaan itu dengan benar, maka masalahmu akan selesai”.
Lama setelah peritiwa diskusi itu aku merenung mencari jawabannya. Sampai sekitar 6 bulan setelahnya, aku menemui sahabatku kembali :
Aku : Sob, sepertinya aku sudah tau jawabannya. Dan jawabannya tergantung jadi siapa aku saat itu.
Sahabat : maksudmu?
Aku : Ya. Menurutku, ketika aku mencoba memahami siapa aku, ketika aku belum beristri, maka ibukulah yang kuharapkan meninggalkanku terakhir kali. Karena saat itu, dialah orang yang paling ku cintai. Jika aku sudah memiliki istri, maka istrikulah yang ku harap meninggalkanku terakhir kali. Begitu pula ketika aku memiliki anak, maka anakku lah yang terakhir kali ku harapkan meninggalkanku. Karena waktu itu, merekalah yang sangat kucintai.
Sahabat : Jika jawabanmu seperti ini, mungkin kau tidak lagi menjadi lelaki pengecut dan tidak bertanggungjawab. Tapi, jawabanmu tidak menjawab permasalahanmu.
Aku : Beri aku clue. Beri aku sedikit petunjuk!
Sahabat : Pahami peristiwa qurban.
Pasca peristiwa itu, aku masih belum mampu menemukan jawabannya. Sampai akhirnya aku pergi menginggalkan Ujungberung, kota yang sudah ku anggap seperti kampung halamanku sendiri. Aku mulai sibuk dengan aktifitas baruku di Pangalengan. Di suatu kesempatan, aku di undang ke Masjid untuk menghadiri perkumpulan Remaja Masjid. Aku memanfaatkan kesempatan itu untuk menyambangi beberapa temanku.
Selesai berkumpul, aku memperpanjang waktuku di 2 hari. Aku mengunjungi seorang sahabat yang lain. Seorang bijak lainnya yang aku hormati. Cerita kesana kemari, tiba-tiba aku terlintas pada pertanyaan lama yang belum terjawab. Aku menceritakan padanya cerita yang telah ku tuliskan diatas.
Dia hanya tersenyum dengan ceritaku. Dan dia berkata :
“Pertanyaan sederhana dengan jawaban yang sederhana. Hanya butuh kesadaran untuk memahami untuk apa kita hidup. Pertanyaanku cuma satu Bro. Siapa yang paling kau cintai?”
Aku menjawab persis cerita diatas. Dan dia menjawab :
“Maka yang paling kau cintai itulah yang harus kau ikhlaskan untuk pergi meninggalkanmu”
Aku terdiam. Bingung. Heran. Kok bisa? Kenapa aku justru harus menjadikan orang yang paling ku cintai untuk ku ikhlaskan pergi?
Sahabatku meneruskan omongannya :
“Cerita itu sebenarnya lebih ekstrim Bro. Sebenarnya bukan “diizinkan pergi”, tapi sebenarnya”siapa yang akan kau bunuh terlebih dahulu”. Ini adalah hakikat peristiwa Qurban, ketika Ibrahim diminta menyemblih Ismail”
Aku terdiam. Aku mulai paham. Tapi aku belum siap untuk menjawabnya. Sepertinya sahabatku paham apa yang ada dipikiranku. Dan tanpa menunggu aku mengungkapkan isi pikiranku dia kembali berkata :
“Iya Bro. Karena kecintaan kita pada makhluk cenderung mengalahkan kecintaan kita pada Sang Pencipta. So, ketika itu terjadi, berhati-hatilah. Jangan sampai kecintaanmu itu membutakanmu, dan membutakanmu untuk mencari kecintaan yang hakiki, kecintaan pada-Nya”
Dan sampai saat ini, aku harus jujur kalau aku belum mampu menjalankannya… Itulah cinta. Sepertinya kata-kata ini adalah segalanya bagi kita. Makanya film tentang cinta tidak akan pernah habisnya. Para pencipta lagu tidak akan pernah berhenti menciptakan alunan kata tentang cinta. Tema ini adalah satu diantara sedikit tema yang tidak pernah berhenti didiskusikan.
Dan cinta bersahabat baik dengan cemburu, perasaan untuk tidak ingin berbagi, perasaan untuk memiliki. Mereka 1 paket. Tidak ada yang mau membagi cintanya dengan siapapun, dan apapun. Bahkan dengan Tuhan?
Ya, menurut saya itulah yang terjadi. Lupakan kecintaan pada bangsa, negara, teman, sahabat, orang tua. Bahkan pada Tuhanpun kita tidak ingin berbagi. Kenapa bisa seperti ini? Apa yang salah? Bukankah cinta itu juga Tuhan yang menghadirkan? Bukankah cinta itu anugrah terindah? seperti lirik-lirik lagu para pujangga? Ya. betul. Lalu apa yang salah? Saya pun tidak tahu apa yang salah. Dan sayapun sepertinya tidak berani menyalahkan siapapun.
Tapi saya berfikir, ada konsepsi tentang cinta yang mungkin perlu diluruskan. Bahwa cinta tidak perlu dibandingkan. Tidak ada yang perlu dibagi. Karena masing-masing cinta tersebut memiliki dimensinya sendiri. Kita bisa memberikan masing-masing bagian tersebut dengan 100% kecintaan kita.
Kita bisa memberikan cinta 100% pada kekasih, sebagai lelaki pada wanitanya atau sebaliknya. Kita bisa memberikan cinta 100% pada orang tua, sebagai seorang anak pada orangtuanya. Kita bisa memberikan cinta 100% kepada bangsa dan negara sebagai warga negara. Dan kita juga bisa memberikan cinta 100% kepada Tuhan sebagai makhluk pada Tuhannya.
Konsepsi ini akan sulit kita lakukan, jika kita masih mempersepsikan cinta sebagai simbol-simbol yang sudah disepakati selama ini. Bahwa besaran cinta itu tergantung pada berapa banyak waktu yang kita sisihkan untuk cinta itu. Bahwa besaran cinta itu tergantung seberapa banyak kalimat cinta kita ucapkan. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Cinta itu absurb. Tidak terbatas. Tak terdefinisikan. Ketika cinta mulai dijelaskan dengan wujud-wujud tertentu, definisi-definisi, maka justru cinta itu akan kehilangan hakikatnya.
Halah, sejak kapan gw kok ngomong cinta? hue hue hue....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar